Home Berita Virtue Ethics dalam Islam berbasis Wahyu dan Akal

Virtue Ethics dalam Islam berbasis Wahyu dan Akal

1962
0
Dr. Dinar Dewi Kania menjelaskan konsep virtue ethics menurut Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib Al-Attas
Dr. Dinar Dewi Kania menjelaskan konsep virtue ethics menurut Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib Al-Attas

Orang sekarang sering memaknai ‘etika’ sebagai kesopanan atau kepatutan semata, padahal sesungguhnya, etika adalah cabang dari filsafat yang membahas moralitas, atau apa yang dikehendaki sebagai kebaikan. Maka secara filosofis, etika merupakan pembahasan mendalam perihal hakikat manusia, masyarakat, kebaikan, keadilan, dan konsep-konsep kunci lain yang saling berjalin.

Dalam INSISTS Saturday Forum pekan ini (6/5/2017), Dr Dinar Kania menerangkan tiga macam pendekatan etika, yakni meta-ethics (yang paling filosofis melibatkan konsep-konsep kunci di atas), normative ethics (etika filosofis berdasarkan aliran: teleologis, deontologis, etika hedonis, utlilitarianisme, dsb.), dan descriptive ethics atau deskripsi atas etika keseharian. Secara spesifik, Dr Dinar mengupas pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang virtue ethics. Menurut dosen Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Trisakti ini, konsep virtue ethics berasal dari pemikiran filsuf Yunani Aristoteles, yang kemudian disesuaikan dan dikembangkan oleh para filsuf Muslim seperti al-Farabi dan Ibn Miskawayh.

Jika Aristoteles membahas virtue ethics secara sekular, para pemikir Muslim dahulu mengislamkannya dengan konsep-konsep lain yang diperoleh dari wahyu. Hal paling nyata adalah pandangan tentang eksistensi manusia. Bagi Aristoteles, keberadaan manusia adalah untuk negaranya, sehingga perbuatan seperti bunuh diri, misalnya, tidak dibenarkan dari sudut pandang kegunaan manusia terhadap negara. Bunuh diri adalah salah, dalam pandangan ini, karena menghilangkan nyawa yang seharusnya dapat memberi sumbangsih bagi kemajuan negara. Namun, tidak demikian pandangan Islam. Membunuh diri sendiri dilarang Islam karena perbuatan tersebut adalah kezaliman terhadap diri. Keadilan terhadap diri, sebaliknya, adalah diwajibkan atas setiap muslim dalam bentuk meletakkan sesuatu pada tempatnya yang wajar.

Manusia memiliki derajat jiwa dalam dirinya berturut-turut yakni jiwa akali, jiwa hewani, dan jiwa nabati. Jiwa akali adalah jiwa tertinggi manusia, yang membuatnya berpikir dan menerima makna; jiwa hewani adalah jiwa instingtif yang membuatnya memiliki keberanian, hawa nafsu, amarah, dan sebagainya; sedangkan jiwa nabati adalah jiwa yang membuatnya mengalami pertumbuhan raga. Jika ketiganya menempati tempat yang wajar, maka manusia akan menjadi manusia yang adil dan beradab. Sebagaimana ditegaskan oleh al-Attas di dalam buku terbarunya, On Justice and the Nature of Man, petunjuk penerapan keadilan ini bersumber pada wahyu yang membimbing akal, bukan semata-mata beruppa spekulasi akal saja.

Keadilan manusia pada dirinya akan menghasilkan keadilan masyarakat dan negara. Konsep etika dalam Islam ini dapat menjadi pegangan ketika umat Islam berhadapan dengan keadaan modern dan posmodern. Dalam keadaan modern, etika yang berlaku kebanyakan adalah etika utilitarian, yang menilai kebaikan berdasarkan jumlah terbanyak yang menerima manfaat. “Di perguruan tinggi umum, buku-buku etika profesi banyak mengacu pada etika utilitarian,” kata Dr. Dinar. Hal ini menjadikan capaian perbuatan etis hanya sebatas untung-rugi material belaka. Berbarengan dengan itu, keadaan posmodern yang serba merelatifkan kebenaran dan nilai berdampak bagi relativisme etika.

Acara ini ditutup dengan epilog dari Direktur eksekutif INSISTS, Dr. Syamsuddin Arif. Beliau berupaya menyederhanakan pemaparan Dr. Dinar dengan beberapa contoh. “Orang tua ingin anaknya berperilaku baik. Pemerintah ingin warga negaranya berperilaku baik, dan warga pun menginginkan pemerintahan yang baik. Apa yang mendasari kebaikan?” kata Dr. Syams. Ada orang yang melakukan perbuatan baik hanya karena adanya aturan, ancaman, imbalan, rasa malu, dan sebagainya. Namun ada juga orang yang berperilaku baik karena itu adalah kebaikan. Perbuatan itu diatur oleh pikiran, dan virtue ethics adalah baik semata-mata karena dan demi kebaikan. Virtue ethics membuat seseorang mampu membina diri sendiri agar menjadi baik karena ia memahami itu adalah sebuah kebaikan.

Leave a Reply