Sayyid Quthub, barangkali, saat ini merupakan seorang ilmuwan Muslim yang banyak mendapat sorotan. Namanya, banyak dikaitkan dengan kebangkitan radikalisme di dunia Islam. Tak jarang yang kemudian bersikap alergi terhadap pemikirannya. Tapi, secara ilmiah, sikap a priori semacam itu tentu saja keliru. Banyak karya besar telah dilahirkannya. Salah satunya, Tafsir Fi Dzilalil Quran. Diantara pemikiran menarik dari Sayyid Quthub adalah teori tentang “keadilan sosial”.
Dalam bukunya Al-‘Adalah al-Ijtima‘iyyah fi al-Islam (Keadilan Sosial dalam Islam) Qutb tidak menafsirkan Islam sebagai sistem moralitas yang usang. Tetapi, ia adalah kekuatan sosial dan politik konkret di seluruh dunia Muslim. Di sini Qutb melawan Ali Abd al-Raziq dan Taha Hussein yang menyatakan bahwa Islam dan politik itu tidak bersesuaian. Qutb menyatakan tidak adanya alasan untuk memisahkan Islam dengan perwujudan-perwujudan yang berbeda dari masyarakat dan politik.
Pemikiran Qutb tentang keadilan sosial dalam Islam dilatar belakangi oleh pandangannya bahwa prinsip keadilan sosial Barat itu didasarkan pada pandangan Barat yang sekular, di mana agama hanya bertugas untuk pendidikan kesadaran dan penyucian jiwa, sementara hukum-hukum temporal dan sekular lah yang bertugas menata masyarakat dan mengorganisasi kehidupan manusia. Islam itu tidak demikian, kata Qutb: “…kita tidak mempunyai dasar untuk mengukuhkan permusuhan antara Islam dan perjuangan untuk keadilan sosial, seperti permusuhan yang ada antara Kristen dan Komunisme. Karena Islam telah menyiapkan prinsip-prinsip dasar keadilan sosial dan mengukuhkan klaim orang miskin pada kekayaan orang kaya; ia menyediakan prinsip keadilan bagi kekuasaan dan uang, sehingga tidak ada perlunya untuk membius pemikiran manusia dan mengajak mereka untuk meninggalkan hak-hak bumi mereka untuk tujuan harapan mereka di akhirat. (Al-‘Adalah, h. 20).
Apa yang diformulasikan Qutb adalah gagasan tentang keadilan sosial yang bersifat kewahyuan. Yaitu bahwa umat Islam harus mengambil konstruksi moral keadilan sosial dari al-Qur’an yang telah diterjemahkan secara konkret dan sukses oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Menurutnya, tradisi kenabian ini selalu muncul dari zaman ke zaman betapapun banyaknya rintangan yang membuat tenggelamnya tradisi ini.
Menurut Qutb, keadilan sosial dalam Islam mempunyai karakter khusus, yaitu kesatuan yang harmoni. Islam memandang manusia sebagai kesatuan harmoni dan sebagai bagian dari harmoni yang lebih luas dari alam raya di bawah arahan Penciptanya. Keadilan Islam menyeimbangkan kapasitas dan keterbatasan manusia, individu dan kelompok, masalah ekonomi dan spiritual dan variasi-variasi dalam kemampuan individu. Ia berpihak pada kesamaan kesempatan dan mendorong kompetisi. Ia menjamin kehidupan minimum bagi setiap orang dan menentang kemewahan, tetapi tidak mengharapkan kesamaan kekayaan.
Kritik dan pujian
Hamid Algar, dalam pengantarnya untuk buku Social Justice in Islam, menyatakan, bahwa Sayyid Qutb dapat dilihat sebagai orang yang pertama di dunia Islam yang mengartikulasikan masalah keadilan sosial pada zaman modern. Teori keadilan sosialnya begitu sentral dalam pemikirannya. Teori ini dipertahankannya sehingga akhir hayatnya. Barangkali karena topik inilah yang memberikan sambungan antara teologi dan realitas sosial, suatu sambungan yang menjadi inti dari pemikirannya, yaitu Islam sebagai kekuatan sosial dan politik yang konkret.
Menurut Shepard (1996), walaupun topik yang diambil itu agak sekular yaitu keadilan sosial, Qutb mengakhirinya dengan teosentrisme penuh dengan titik tekan pada pelaksanaan Syari’ah sebagai jembatan untuk merealisasikan keadilan sosial. Demikian itu karena, bagi Qutb, hanya Allah lah yang mengetahui cara merealisasikan keadilan sosial yang benar. Maka apa yang Allah gambarkan dalam al-Qur’an dan yang dilaksanakan oleh Nabi-Nya itulah yang perlu diikuti. Dan warisan itu adalah pelaksanaan Syari’ah.
Namun, Moussali (1993) dalam bukunya, The Views of Islamic Foundamentalism and Political Philosophy, berkeberatan dengan teori Qutb tersebut, karena pandangan tersebut telah mengaburkan visi tentang bagaimana berhubungan secara praktis dengan struktur-struktur yang ada. Menurut Moussali pula, konsep Qutb tentang perlunya mentransendensi ruang dan waktu telah membawa pada gambaran idealistik yang menghalangi interaksi yang bermakna dengan realitas.
Realitas itu, tentu saja, termasuk keberadaan umat Islam yang tidak berada dalam keadaan hampa budaya. Umat Islam tengah berada dalam lingkaran budaya yang berbeda-beda dalam kehidupan mereka, budaya-budaya yang tidak sepenuhnya Islam sebagaimana yang dicontohkan Nabi dan para sahabat. Di situlah, kemudian, Qutb menyatakan bahwa umat Islam tengah mengalami kejahiliyyahan. Baginya, “Islam sudah tidak ada lagi” (Al-‘Adalah, h. 248). Sementara kejahiliyyahan itu harus dihancurkan, umat Islam tengah berada di dalamnya. Lalu bagaimana ide pemurnian itu bisa dilakukan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Qutb memberikan resep yang telah dijalani oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, yaitu membentuk jama‘ah kecil yang berkomitmen kepada Allah dalam segala aspek kehidupannya, melakukan pemisahan emosional (‘uzla shu‘uriyya), kemudian membentuk generasi Qur‘ani, dan akhirnya menyiapkan tatanan hukum sosial atau membina masyarakat (Lihat Ma‘alim fi al-Tariq, passim).
Jadi, Qutb tidak sedang melakukan rapprochement (penghampiran) dengan Barat, walaupun tema keadilan sosialnya itu pun tampaknya sebagai pengaruh dari membanjirnya “vitalitas Marxisme” seperti kata Algar. Ia tengah melakukan penjauhan (distansiasi) dengan Barat dengan mengajukan resep Islam yang stabil, seimbang, dan komprehensif.
Namun, apapun yang dilontarkan oleh para pengkritik tentang pemikiran Sayyid Qutb, pemikirannya tentang keadilan sosial dalam Islam hampir murni dari kritik. Ini karena Qutb menyajikan bahwa untuk sebuah himbauan moral, Islam pun mempunyai dasar-dasar etis tentang keadilan sosial. Bukannya kritik yang ada, bahkan peniruan atas atau penghampiran dengan teori Qutb yang kemudian bermunculan. Semua buku atau artikel yang ada tentang keadilan sosial dalam Islam adalah kurang lebih sama dengan apa yang ditulis Qutb. Hamid Algar menyebut bahwa setelah buku Sayyid Qutb ini (1949) muncul buku senada dari Suriah yaitu Ishtirakiyyat al-Islam (Sosialisme Islam) (1951) oleh Mustafa al-Siba‘i, Keadilan Sosial dalam Islam (1951) oleh Hamka dari Indonesia, dan Iqtisaduna (Ekonomi Kita) oleh Ayatullah Muhammad Baqir al-Sadr dari Iran.
Demikian itu karena Qutb, sebagaimana penulis Muslim lainnya, mendasarkan pemikiran mereka kepada sumber yang sama: al-Qur’an dan al-Sunnah. Kaum Muslim bisa menerima teori semacam ini, sebagaimana A Theory of Justice-nya John Rawls yang masih tetap berada dalam tataran teori, orang Barat masih saja menerimanya. Bahkan banyak yang memuji Rawls, karena teorinya dipandang dapat memajukan cara berpikir tentang keadilan (Knowles, Political Philosophy, 2001).
Maka, positifnya, teori Qutb tentang keadilan sosial dalam Islam ini dapat selalu mengingatkan kaum Muslim pada pandangan moral Islam tentang keadilan sosial. Sebab, keadilan adalah prinsip penting dalam ajaran Islam yang harus senantiasa ditegakkan oleh umat Islam di tengah masyarakat. (***).
(Dosen Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Jati Bandung)