Malam itu bukan malam yang biasa bagi Dinar Dewi Kania.. Pada 30 Oktober 2012 lalu, peneliti INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought of Civilizations) itu dinyatakan lulus cum laude setelah berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Studi Komparatif Pemikiran Epistemologi Frithjof Schuon dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas” di Program Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor. Bertindak sebagai promotor adalah Prof. Dr. Ahmad Tafsir (UIN Bandung) dan Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M. Phil (ISID Gontor), dan tim penguji Prof. Dr. Didin Hafidhudin (UIKA), Prof. Dr. Abuddin Nata (UIN Jakarta), dan Dr. Irfan Syauqi Beik (IPB) serta ketua sidang Rektor UIKA, Dr. Ending Baharuddin.
Menurut Dinar, problem terbesar umat Islam saat ini adalah kerusakan ilmu akibat adanya invasi epistemologi Barat yang sekuler. Epistemologi Barat modern itu tidak mengakui hal-hal yang bersifat metafisik sebagai obyek ilmu sehingga menyebabkan terputusnya hubungan sains dengan agama atau Tuhan. Dinar menyadari bahwa kajian yang mangangkat permasalahan epistemologi dari tokoh-tokoh Islam baik klasik maupun kontemporer sangatlah jarang. Padahal kajian epistemologi merupakan pondasi penting untuk menjawab wacana-wacana filosofis dalam filsafat pendidikan. Oleh karena itu penting untuk mengkaji dan membandingkan pemikiran epistemologi Frithjof Schuon dengan Syed Muhammad Naquib al-Attas, karena keduanya sama-sama mengritik filsafat dan sains modern yang sekuler dan menawarkan paradigma alternatif untuk menjawab problem keilmuwan tersebut.
Disertasi yang ditulis oleh perempuan yang juga berprofesi sebagai Dosen ini, menurut Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, telah menghasilkan beberapa temuan penting. Dalam studi komparatif yang dilakukannya, Dinar membuktikan bahwa epistemologi Perennialis dalam hal ini yang diwakili oleh Schuon, memiliki sejumlah perbedaan mendasar dengan epistemologi Islam terutama dalam memahami realitas dan kebenaran. Epistemologi Schuon tersebut telah melahirkan konsep Kesatuan Transenden Agama-agama (KTAA) yang menjadi akar dari Pluralime Agama. Sayangnya, paham ini malah diagung-agungkan dan diadopsi oleh sejumlah tokoh Muslim di Indonesia. Padahal pemikiran Schuon tersebut sangat problematis karena mengafirmasi penyatuan manusia dengan zat Tuhan. Schuon bahkan menganggap wahyu batin yang diperoleh meditasi merupakan sumber ilmu yang tertinggi dibandingkan dengan wahyu otentik yaitu al-Qur’an dan Sunnah.
Sedangkan epistemologi al-Attas, menurut Dinar, dapat menyelesaikan dikotomi keilmuwan dalam dunia pendidikan Islam, karena al-Attas berhasil menjelaskan hubungan antara ma’rifah dengan ilmu. Bagi al-Attas, keseluruhan proses pendidikan bernilai spiritual,maka tidak mungkin ilmu yang sejati dapat diperoleh melalui pendidikan yang memisahkan sains dengan agama. Oleh karena itu dalam rekomendasinya, Dinar menyarankan bahwa Islamisasi Ilmu dalam tataran epistemologis harus terus diupayakan. Begitu pula dengan pendidikan berbasis worldview of Islam, harus dikembangkan dan diaplikasikan agar sistem pendidikan Islam mampu mewujudkanmanusia-manusia beradab.Disertasi yang ditulisnya ini, menurut Dinar, semakin menegaskan bahwa ilmu yang sejati adalah ilmu yang mampu menghantarkan manusia untuk mengenal Tuhannya dan melakukan penyembahan secara benar, sesuai dengan tujuan penciptaan manusia yang termaktub dalam kitab suci al-Qur’an.
Perempuan berjilbab yang memiliki latar belakang ilmu manajemen ini, tertarik untuk mengupas permasalahan epistemologi karena merasa pernah menjadi korban dari sistem pendidikan yang menganut dikotomi ilmu, yang memisahkan antara ilmu umum dan ilmu agama. Ilmu yang diperolehnya sejak kanak-kanak sampai perguruan tinggi, tidak pernah bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental yang berkecamuk dalam pikirannya. Sejak kecil ia mengenyam pendidikan sekuler yang hanya berorientasi kepada materi, yaitu bagaimana memperoleh pekerjaan dan berpenghasilan yang tinggi. Oleh karena itu, setelah menamatkan kuliah di Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung, ia pun bekerja sebagai seorang profesional di bidang Pariwisata sambil meneruskan pendidikannya di Sekolah Tinggi Manajemen Transpor Trisakti. Pada masa-masa itu, Dinar justru mendapati dirinya berada dalam kehampaan karena banyak persoalan kehidupan yang tidak mampu diselesaikan dengan ilmu yang dimilikinya. Ia pun bertekad untuk mencari ilmu sejati yang diharapkan dapat memberikan jawaban atas sejumlah permasalahan eksistensial yang dirasakannya.
Pencarian tersebut menurut Dinar tidaklah mudah sehingga hampir saja ia menyerah jika Allah swt tidak menurunkan pertolongan-Nya. Ia kemudian bergabung dengan Youth Islamic Study Club (YISC) Al-Azhar dan mulai serius menekuni ilmu-ilmu keislaman baik secara formal maupun non formal melalui kajian-kajian yang saat itu mulai merebak di kalangan profesional. Ia sempat terlibat secara intens dalam kajian Islam liberal karena keawamannya dalam masalah agama.Namun pemikiran liberal ternyata tidak pernah bisa memuaskan dahaga hatinya yang haus akan kebenaran.
Perjalanan intelektual alumni SMAN 8 Jakarta ini memang tergolong unik karena tidak banyak orang yang mau menggeluti bidang pemikiran, terlebih-lebih bagi seorang perempuan. Tapi Dinar telah membuktikan bahwa di sela-sela waktunya mengurus rumah tangga, ia masih punya kesempatan belajar dan menghasilkan sejumlah karya ilmiah baik di bidang transportasi udara maupun pemikiran Islam. Ia sangat meyakini bahwa konsep kesatuan ilmu (unity of knowledge) yang merupakan ciri khas peradaban Islam dan terbukti di masa lalu telah menghasilkan tokoh-tokoh ilmuwan sekaligus ulama, dapat diraih kembali asalkan permasalahan dikotomi keilmuwan ini dapat segera diatasi.
Dinar yang juga seorang penulis novel ini, merasa diberkahi karena bisa menamatkan program Doktoral atas bantuan beasiswa Baznas dan DDII. Ia berharap di masa mendatang dapat terus menghasilkan karya-karya yang bermanfaat karena gelar Doktor yang melekat padanya adalah amanah umat. Ia pun bertekad untuk secara konsisten melakukan dakwah keilmuwan terutama dalam bidang penelitian. Menurutnya, bidang penelitian terutama yang mengkaji permasalahan filosofis, merupakan bidang yang tidak banyak mendapat perhatian umat padahal bidang tersebut memiliki nilai strategis untuk menjawab tantangan keilmuwan saat ini.* (Insists).