Pada 1 April 2010 lalu, saya bersama Direktur INSISTS Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, berangkat ke Inggris untuk ”jalan-jalan” dan menghadiri beberapa acara di sana. Pesawat terbang dari Jakarta pukul 02.30 dini hari. Satu hal yang ingin saya lihat secara langsung adalah kondisi Muslim di Inggris yang – saya dengar-dengar – relatif lebih baik dibandingkan dengan kondisi minoritas Muslim di berbagai negara Eropa lainnya.
Kami mendarat di Bandara Heathrow London, pada 1 April 2010, siang hari. Kami dijemput oleh Bang Asyari Usman, wartawan BBC, asal Indonesia yang sudah 22 tahun tinggal di Inggris. Bersama dia, ada Nazaruddin, kandidat doktor Teknik Kimia di University College London. Tak lama, kami diajak mengelilingi Kota London. Selain untuk mengetahui situasi, juga untuk menghilangkan kantuk. Maklum, ketika itu di Indonesia sudah sekitar pukul tiga dini hari; saat di mana biasanya orang Indonesia bagian Barat masih terlelap tidur.
Sepanjang perjalanan keliling kota London, saya mendapat cerita bahwa dibandingkan dengan sejumlah negara Eropa lainnya, Inggris termasuk yang cukup toleran dalam kehidupan keagamaan, khususnya terhadap Islam. Tetapi, sensitivitas terhadap Islam akhir-akhir ini meningkat, menyusul terjadinya sejumlah peristiwa yang dikaitkan dengan aksi terorisme. Jumlah orang Muslim yang terus meningkat di Inggris dan kondisi ekonomi Inggris yang menurun dimanfaatkan sejumlah kalangan untuk memicu semangat anti-Islam dan anti-imigran. English Defence League adalah salah satu kelompok yang aktif menggugat kedatangan imigran.
Salah satu partai politik di Inggris yang bersemangat membawa isu anti-Islam dan anti-imigran adalah partai BNP (Britih Nastional Party). Alamat websitenya: www.bnp.org.uk. BNP mempunyai sebuah Tabloid bernama ”The Voice of Freedom.” Dalam salah satu edisinya, Issue 111, Tabloid ini menulis: “The BNP says this is a Christian country, our tradition should be put first and not sidelined in favour of foreign cultures. The BNP would ensure British schools focus on our Christian heritage.”
Di halaman 5, ada berita berjudul “University to Launch Degree in Islamic Banking”. Mengomentari rencana pembukaan program Islamic Banking di Salford University, Manchester, ini, BNP menulis: “The creeping Islamification of our nation continues. With the Muslim birth rate rising and the number of Islamic immigrants entering the country at an all time high, even more of our institutions and ways of life will be affected. Only the British National Party has the policies to ensure that our country retains its own culture, heritage and traditions.”
Tentang pelarangan pembangunan menara masjid di Swiss, BNP sangat mendukungnya. Dikutip pernyataan politisi Swiss, Daniel Zingg, yang menyatakan: ”The minarets are spearheads of Sharia… They are signs of territory newly conquered by Islam.” Katanya lagi: “It is well known fact that first come the minarets, then the muezzins, with their calls to prayer; the burqas and finally Sharia law.” Terakhir, Tabloid ini menegaskan bahaya imigran Muslim di Eropa: “Muslim immigration into Europe has now reached critical levels. Surveys carried out in the aftermath of the Swiss poll showed that 44 percent of Germans and 41 percent of French oppose the construction of minarets. In addition, 55 percent of all Europeans see Islam as an “intolerant religion”, acccording to the polls.”
Suara anti-Islam BNP ini banyak mendapat tantangan dari dalam masyarakat Inggris sendiri, baik dari Muslim maupun bukan. Bahkan, dalam beberapa kali demonstrasi, kedua kubu ini tak jarang berhadapan. Menurut seorang mahasiswa, pernah di suatu kota, kedua kubu berhadap-hadapan. Kubu anti-rasialisme membawa bendera Palestina, sedangkan kubu BNP membawa bendera Israel. Dalam situasi normal, suara-suara anti-Islam ini masih tidak berpengaruh terhadap kehidupan kaum Muslim di Inggris. Tetapi, ada yang mengkhawatirkan, dalam situasi krisis dan kacau, isu ini bisa dijadikan pemicu untuk menyerang kaum Muslim.
Persoalan integrasi kaum Muslim dengan penduduk Inggris menjadi masalah tersendiri. Di antara imigran Muslim, memang ada sejumlah orang yang tetap berbahasa daerahnya masing-masing. Bahkan, identitas negara asalnya masih tetap sangat dominan, termasuk dalam soal bahasa. Kini pemerintah Inggris memperketat syarat mendapatkan permanent resident. Salah satunya harus bisa bahasa Inggris dan mengenal budaya Inggris. Sebab, memang ada yang datang ke Inggris – dengan berbagai sebab – yang tetap tidak dapat berbahasa Inggris, meskipun sudah tinggal lebih dari 10 tahun.
Faktor lain yang mungkin menyebabkan ”kecemburuan” sebagian warga Inggris terhadap kaum Muslim adalah kondisi Gereja dan kaum Kristen di Inggris sendiri. Dalam berbagai perjalanan di berbagai kota di Inggris, saya menemukan banyak Gereja yang sudah berubah fungsi, baik menjadi masjid, rumah, atau kafe. Kondisi Gereja dan jemaatnya di Inggris digambarkan oleh Dr. Peter Brierly dalam bukunya yang berjudul The Tide is Running Out: What the English Church Attendance Survey reveals (London: Christian Research, 2000). Kondisi gereja-gereja di Inggris digambarkan oleh Archbishop George Carey, pada tahun 1998, sebagai ”In some section of our Western Church we are bleeding to death.” Data menunjukkan, tahun 1979, hanya 5,4 juta orang Inggris ke gereja tiap minggu. Sepuluh tahun kemudian, 1989, jumlahnya menurun menjadi 4,7 juta. Sembilan tahun kemudian, 1998, jumlah itu menurun lagi menjadi 4,7 juta.
Penurunan jumlah warga Inggris yang pergi ke gereja itu justru terjadi saat populasi penduduk Inggris meningkat dari 46 juta (1979) menjadi sekitar 50 juta (1998). Jadi secara persentase, jumlah yang ke Gereja tiap minggu adalah:
1979 1989 1998
———————————————————————————-
11,7% 9,9% 7,5%
———————————————————————————-
Jika tren penurunan semacam itu terus berlangsung, maka diperkirakan, pada tahun 2016, yang pergi ke gereja tiap minggu tinggal 0,9%. Dalam bukunya ini, Dr. Peter Brierly menulis, bahwa hanya dalam satu generasi ke depan, gereja-gereja di Inggris sedang dalam proses kematian. Dia membayangkan, saat itu, media massa akan menulis berita-berita besar, seperti “After 2 Millenia, Satan Beasts Christ in England.”
Sebenarnya, menurut Dr. Brierly, tidak semua gereja mengalami krisis jemaat. Gereja the Kingsway International Christian Centre (KICC), misalnya, tahun 1992, memulai dengan jemaat berjumlah 200 orang. Tahun 1998, jemaat mingguannya mencapai 6.000 orang. Gereja Katolik di Liverpool, misa mingguannya masih dihadiri sekitar 4.000 jemaat.
Survei tentang nasib gereja-gereja di Eropa sebenarnya juga pernah dilakukan oleh Herlianto, pendeta asal Bandung, yang menulis buku berjudul Gereja Modern, Mau Kemana? (1995). Buku ini memaparkan dengan jelas kondisi gereja-gereja di Eropa. Kristen kelabakan dihantam nilai-nilai sekulerisme, modernisme, liberalisme, dan “klenikisme”.
Di Amsterdam, misalnya, 200 tahun lalu 99 persen penduduknya beragama Kristen. Kini, tinggal 10 persen saja yang dibaptis dan ke gereja. Kebanyakan mereka sudah tidak terikat lagi dalam agama atau sudah menjadi sekuler. Di Perancis, yang 95 persen penduduknya tercatat beragama Katolik, hanya 13 persennya saja yang menghadiri kebaktian di gereja seminggu sekali.
Pada 1987, di Jerman, menurut laporan Institute for Public Opinian Research, 46 persen penduduknya mengatakan, bahwa “agama sudah tidak diperlukan lagi.” Di Finlandia, yang 97 persen Kristen, hanya 3 persen saja yang pergi ke gereja tiap minggu. Di Norwegia, yang 90 persen Kristen, hanya setengahnya saja yang percaya pada dasar-dasar kepercayaan Kristen. Juga, hanya sekitar 3 persen saja yang rutin ke gereja tiap minggu.
Masyarakat Kristen Eropa juga tergila-gila pada paranormal, mengalahkan kepercayaan mereka pada pendeta atai imam Katolik. Di Jerman Barat – sebelum bersatu dengan Jerman Timur — terdapat 30.000 pendeta. Tetapi jumlah peramal (dukun klenik/witchcraft) mencapai 90.000 orang. Di Perancis terdapat 26.000 imam Katolik, tetapi jumlah peramal bintang (astrolog) yang terdaftar mencapai 40.000 orang.
Kondisi semacam ini perlu dijadikan pelajaran oleh umat Islam. Sebab, hal ini bisa menimpa agama apa saja, yang tidak sanggup bersaing dengan serbuan paham liberalisme, sekularisme, dan hedonisme. Sejumlah orang Muslim di Inggris ini bercerita, beratnya mendidik anak-anak mereka agar tetap menjadi Muslim yang baik, sekalipun terkepung dengan alam liberalisme dalam berbagai bidang kehidupan.
Saya menyadari, tantangan yang dihadapi oleh kaum Muslim di Inggris cukup berat. Selama saya di Inggris ini tidak pernah mendengar suara azan keluar dari pengeras suara di masjid. Masalah menara masjid saja dipersoalkan, meskipun oleh BNP dan sejenisnya. Itulah fakta. Dalam situasi seperti itu, saya menyaksikan banyak orang Muslim yang tetap bersemangat dengan agamanya. Anehnya, di Indonesia, justru ada sebagian orang yang mengaku Muslim tetapi bersikap sangat alergi terhadap ajaran Islam.
Gambaran tentang kondisi kaum Muslim di Inggris agak lebih jelas setelah saya berkunjung ke salah satu toko buku di London dan menemukan buku berjudul Race, Religion, and Muslim Identity in Britain, karya Dr. Muhammad Abdul Bari (Swansea: Renaissance Press, 2005). Penulisnya alumnus King’s College London. Ia juga Deputy Secretary General of the Muslim Council of Britain (MCB), sebuah organisasi yang menjadi induk seluruh organisasi Islam di Inggris.
Dalam pengantarnya untuk buku ini, Professor Muhammad Anwar, dari Centre for Research in Ethnic Relation, University of Warwick, Coventry, memaparkan meningkatnya berbagai tindakan diskriminatif yang dialami umat Islam di Inggris. Jumlah umat Islam di Inggris sekitar 1,8 juta jiwa, atau sekitar 3 persen dari penduduk Inggris. Mereka tersebar di berbagai kota di Inggris. Sekitar 700 ribu tinggal di London; 150 ribu di Birmingham dan 80 ribu di Bradford. Tingkat keterwakilan umat Islam di parlemen (House of Common) Inggris juga jauh dari representatif. Dari 659 anggota parlemen, hanya dua yang Muslim. Padahal, seharusnya, minimal ada 20 anggota Muslim di parlemen.
”Research evidence shows that there is now a shift from racial discrimination towards religious and cultural discrimination in Britain. However, despite the legislation inthis country against racial discrimination for the last 39 years, ethnic minorities including Muslims are still victims of racial discrimination. Sometimes Muslims face multiple discrimination, racial, religion and gender,” tulis Prof. Muhammad Anwar.
Selama di Inggris, Muslim bukanlah hal yang asing lagi. Semangat kaum Muslim di sini untuk mempertahankan identitas keagamaan mereka juga sangat tinggi. Bahkan, pada tanggal 11 April 2010, saya sempat menyaksikan Pameran Sains Islam bertajuk ”1001 Inventions” di Science Museum London. Saat saya memasuki arena pameran, apa yang saya lihat jauh melebihi bayangan saya sebelumnya. Pameran ini luar biasa. Bisa dikatakan benar-benar bertaraf internasional. Dada saya rasanya bergetar, menyaksikan banyaknya pengunjung yang hadir; baik yang Muslim maupun yang non-Muslim. Pameran ini sudah berlangsung sejak 21 Januari dan berakhir 30 Juni 2010. Sudah ratusan ribu pengunjung yang hadir. Banyak alat peraga yang disiapkan secara serius dan sangat profesional. Bahkan, ada pemutaran film yang juga dibuat secara profesional.
Pameran ini bertajuk ”1001 Inventions, Discover The Muslim Heritage in Our World, Uncovering 1000 Years of Science and Technology.” Salah satu alat peraga yang menarik perhatian karena sangat besarnya adalah patung manusia terbang dengan sayap buatan. Peraga itu menggambarkan seorang ilmuwan bernama Abbas Ibn Firas yang pada abad ke-9 sudah melakukan uji terbang dari Masjid Cordoba dan berhasil mendarat dengan mulus. Bisa dikatakan, nama Ibn Firas tidak pernah dikenal oleh anak didik kita di sekolah-skeolah di Indonesia. Dalam pameran ini, ada ilustrasi, cerita, dan juga alat peraga yang mirip dengan yang digunakan oleh Ibn Firas. Pengaruh ilmuwan Muslim lainnya dalam berbagai bidang ditampilkan dengan sangat baik dalam pameran ini, sehingga pesan yang hendak disampaikan diharapkan membawa dampak yang besar.
Saya berpikir, bagaimana di sebuah negara Barat, yang umat Islamnya hanya sekitar tiga persen, ilmuwan Muslim di Inggris bisa menghadirkan pameran seperti ini. Pameran ini juga mendapat dukungan dari pemerintah Inggris. Sebenarnya, kesalahpahaman dan ketidaktahuan terhadap Islam bukan hanya monopoli orang Barat. Di Indonesia, misalnya, banyak kaum Muslim yang juga sama sekali tidak mengenal sejarahnya sendiri, termasuk sejarah sains ilmuwan Muslim.
Pesan utama yang tampaknya disampaikan melalui pameran ini adalah agar warga Muslim dan warga Inggris pada umumnya menyadari bahwa sains modern yang sekarang berkembang di Barat, adalah merupakan hasil perkembangan sains dari masa ke masa, mulai zaman prasejarah sampai zaman modern sekarang ini, tanpa terputus sama sekali. Kebencian dan kecurigaan yang berlebihan terhadap Islam telah menutup mata banyak orang untuk memahami dan mau mengakui, bahwa ada satu masa dalam perjalanan sains dimana umat Islam pernah berjasa besar dalam pengembangan sains. Di dalam arena pameran, terpampang tulisan besar, yang menyampaikan pesan, bahwa sains modern sekarang merupakan hasil karya berbagai peradaban, seperti Babylonia-Asyria, Mesir, Persia, India, Cina, Yunani, Romawi, Islam, dan dunia modern sekarang ini. Sumbangan kaum Musim terhadap sains modern itulah yang secara spektakuler ditampilkan dalam pameran ini. [Inggris, 29 April 2010/bersambung/ww.hidayatullah.com]